Seorang penulis dan novelis asal Amerika bernama Pearl S.
Buck pernah mengungkapkan dalam bukunya sesuatu tentang ibu:
Beberapa ibu suka mencium dan beberapa yang lain suka marah-marah, tapi itu adalah bentuk cinta yang sama, dan kebanyakan ibu suka mencium dan marah-marah sekaligus.
Kutipan itu tampaknya membuat sebuah kata “ibu” menjadi
semakin rumit dan sulit dimengerti. Bagaimana bisa seorang ibu suka mencium dan
marah-marah di waktu yang sama? Membingungkan, bukan? Akupun di balik meja dan
di hadapan laptop di sini juga
bingung, awalnya.
Ibu, 3 huruf 1 kata, sederhana namun rumit. Kids jaman now pasti sering mengalami
debat singkat sampai panjang dengan sosok ibu, entah itu karena nilai 40 pada
ulangan matematika, pulang malam tanpa kabar, sampai Tupperware ibu yang tidak sengaja (atau dengan teledornya) hilang.
Tidak sedikit “anak gaul” era kini memilih kabur dari rumah bahkan nge-kos sendiri padahal mereka masih SMA
atau SMK. Beredar kabar, mereka tidak tahan dengan sempitnya pemikiran ibu, butanya
mata ibu akan berakhirnya jaman old,
tertutupnya telinga ibu akan penjelasan anaknya saat anaknya melakukan
kesalahan, hidung ibu yang tidak mau mencium proses dari usaha yang dilakukan
anaknya, dan cerewetnya mulut ibu, bahkan membenci ibu. Tapi sayang, tidak ada
yang peduli dengan hatinya. Hati ibu, dari sanalah muncul kehangatan
sesungguhnya dan cinta sejati yang tidak akan hilang.
1 tubuh dengan
puluhan amarah yang kalah dengan cinta yang berjuta banyaknya. Ibu adalah
alasan kedua yang utama kita bisa melihat dunia, karena jelas alasan pertamanya
adalah anugrah Tuhan. Tidak peduli bagaimana keadaan ibu, tidak ada mantan ibu.
Banyak remaja yang tidak paham dengan kata “ibu”, menurut beberapa dari mereka
ibu adalah sosok yang terkuno setelah ayah, ibu adalah sosok pengatur melebihi
ayah, sesosok makhluk ciptaan Tuhan yang ribet melebihi cara menyelesaikan
integral trigonometri matematika, dan sosok yang sangat egois dan tidak
pengertian. Banyak dari mereka yang membenci ibunya karena tidak pernah ada
waktu untuk mereka, tidak pernah mendengarkan mereka, dan masih banyak alasan
lain. Tetapi, percayalah dari miliaran anugrah yang Tuhan berikan kepada kita
setiap hari, yang terbaik bukan gadget
kalian atau pacar kalian atau harta kalian. Anugrah terbaik adalah ibu. Tuhan
tidak pernah salah menempatkan kita dalam suatu keluarga, jadi tolong berhenti
bertanya “kenapa gua punya mama kayak mama gua yang sekarang?” pada teman, atau
guru, atau bahkan Tuhan.
Taukah kalian,
sebenarnya ibu lebih sederhana dari penjumlahan 1+1? Dan pernahkah kalian
berpikir betapa kuno-nya pemikiran kalian dibandingkan ibu? Akan aku jelaskan.
Mungkin pernah terlintas dibenakmu, “apa sih yang ibu beri
kepadaku selain marah-marahnya, cerewetnya, ribetnya, dan kekunoan dan
kekakuannya?” atau “boro-boro kasih apa-apa, ada waktu buat gua aja
engga”. Ibuku dan ibumu memang tidak
sempurna, adakah manusia sempurna? Jika ada, tolong beri tahu aku. Ibuku
sungguh temperamen, kalau kata orang Betawi “dikit-dikit teriak, dikit-dikit marah, galak amet”. Apakah ibuku
menyebalkan? Khalayak pembaca, ibuku SANGAT menyebalkan. Apakah ibuku cerewet?
Sepertinya jika suara ibuku disandingkan dengan bebek berkotek, bebek akan diam
dan pergi saking cerewetnya ibuku. Tapi aku tidak pergi dari rumah, meski
pernah sekali aku ingin pergi dari (kalau kata temanku yang kebetulan adalah
anak yang tidak menyukai ibunya) “neraka jahanam dunia”. Dan yang paling
terpenting, aku tidak membenci ibu.
Hari itu aku melakukan sesuatu yang menyalakan api amarah
ibuku, beliau sampai meneleponku hanya untuk memaki-maki dan berteriak sampai
saat aku menjauhkan telepon genggamku dari telingaku cukup jauh, aku masih bisa
mendengar suaranya dengan jelas. Jujur, aku takut untuk pulang, karena saat itu
aku memang sedang pergi bersama temanku tanpa ijin. Namun, karena rumah adalah
tempat terbaikku untuk berlindung, akupun pulang dengan sejuta debar, takut,
dan kekhawatiran –jangan-jangan aku akan ditimpuk dengan sofa atau kulkas. Saat
aku melangkahkan kaki ke dalam rumah, aku melihatnya sedang makan sambil
menonton. Aku tidak memanggilnya, aku terlalu takut. Namun ia bersuara dan
bertanya “udah makan belom?”, dengan singkat aku menjawab “belum”. Ya karena
saat itu situasinya aku baru sampai ke lokasi tempat aku hangout dan langsung di telepon. Ia pun berucap lagi, “mau makan
apa?”. Untuk sejenak aku ternganga, jangan-jangan mama lupa dia tadi
marah-marah kayak ‘kesetanan’. Tapi akhirnya aku dan ibuku itu langsung
berbaikan, begitu saja tanpa pernah diungkit lagi. Disitulah aku mengerti, ibu
hanya ingin aku baik-baik saja, pergi tanpa kabar hanya menyisakan kekhawatiran
di hatinya.
Dari sebuah pucuk pengalaman hidupku itu, aku sadar. Ibu
tidak rumit, teman-teman seperjuanganku, kesalahannya ada pada kita meski tidak
sepenuhnya. Ibu suka mencium, ia sangat mengasihi kita. Ibu suka marah-marah,
ya karena itulah ibu marah untuk kebaikan kita. Ibu suka mencium dan
marah-marah sekaligus, itulah cinta sejati yang tidak kita temukan dalam diri
siapapun, di manapun, tidak peduli seberapa keras kita mencari cinta yang sama
seperti cinta ibu. Bukan pikiran ibu yang sempit, tapi pikiran kita yang selalu
berfikir “ah, mama gak ngerti gua banget sih” lah yang sejatinya sempit. Kita,
anak-anaknya, terlalu egois. Ayolah kawan, bukan ibu yang egoistisnya tinggi.
Tanpa sadar kita selalu menuntut keinginan kita untuk pergi malam, pergi sama
teman, dibelikan ini itu, tanpa peduli keadaan ibu.
Teman-teman, mata ibu tidak buta, mata kitalah yang buta.
Mata cantiknya hanya melihat apa yang tidak kita lihat. Ibu lihat semua resiko
yang ada, disaat kita hanya melihat kesenangan sesaat. Telinga ibu tidak tuli,
ia mendengar semua keinginan kita, bahkan dalam mimpi-mimpi malam kita. Mungkin
hanya caranya menanggapi keinginan-keinginan itu yang salah. Mana ada ibu yang
tidak ingin melihat anaknya bahagia? Sejujurnya telinga kitalah yang tuli.
Nasihat ibu sering kali kita acuhkan, kemauan ibu sering kita abaikan. Mari
kita pikirkan sejenak, berapa banyak kemauan ibu yang kamu tau dan kamu
lakukan? Malah kadang saat disuruh ibu untuk membelikan telur atau sabun cuci
baju di warung saja kita malas-malasan.
Hidung ibu bukannya tidak bisa mencium proses yang kita
alami, hanya ada satu bau yang tidak ingin ia hirup, yaitu bau kegagalan
anak-anaknya. Justru hidung kita yang terlalu puas dengan harum proses yang
kita lewati dan tidak menangkap maksud-maksud ibu yang mengabaikan proses dan
hanya melihat hasil. Contohnya, mamaku itu akan sangat marah dan memakiku jika
aku mendapat nilai di bawah kkm, padahal aku sudah belajar dengan keras, tetapi
ia seolah tidak peduli dengan seberapa kerasnya aku belajar. Sesungguhnya, ia
hanya ingin memberitahuku kalau aku harus berusaha lebih keras karena ia yakin
aku bisa lebih dari apa yang sudah aku lakukan, ia hanya ingin kamu tau itu
bukanlah usahamu yang totalitas, itu aja kok yang mau ibu sampaikan. Jadi, ibu
melihat prosesmu, kawan, ia hanya ingin kamu tidak cepat puas dan ingin kamu
tau kamu masih bisa lebih dari itu dengan cara didikan yang keras dan (kadang)
bikin sakit hati.
Sekali lagi, mulut ibu yang cerewet hanya ingin berkata
bahwa apa yang kau lakukan salah dan butuh perbaikan segera. Bayangkan jika
ibumu tidak cerewet, aku pernah sekali membayangkan ibuku tidak cerewet. Jika
saat akan berangkat sekolah, mama tidak cerewet mengingatkan botol minum,
bekal, buku, dan atk, mungkin itu semua akan ketinggalan.
Mungkin sekarang kalian bertanya-tanya, “mama gua mah udah
cerewet, marah-marah doang. Sayang tuh yang kayak gitu?”. Sekarang aku berkata
padamu, kalau ibumu itu tidak saying denganmu, mungkin saat kau 5 bulan di
kandungannya ia memutuskan untuk menggugurkanmu, atau mungkin saat kau kecil
dan menangis minta susu ia malah asik main game. Jika ibumu tidak sayang kamu, ia tidak akan
mau terjaga sepanjang malam untuk menjagamu saat kau sakit waktu kamu masih
kecil dan tidak peduli jika kamu pulang larut malam. Jika ibumu tidak sayang
kamu, ia tidak akan rela hidup direpotkan olehmu selama 9 bulan membawamu di
perutnya dan tidak akan mau mempertaruhkan nyawanya di ruang bersalin.
Teman, ibu hanya ingin kamu mengerti. Ibu si pengatur hanya
ingin kamu tetap aman dan baik-baik saja, ibu si pemarah hanya ingin kamu
berubah menjadi lebih baik dan tangguh. Lihatlah, sekarang apakah kamu mengerti
seberapa sempit dan kuno-nya persepsi mu tentang ibu?
Ibuku memang cerewet, ribet, temperamen, dan menyebalkan,
tapi tanpanya sepertinya aku tidak akan ada sekarang untuk menulis secercah
pemikiranku tentang pemberian ibu yang tidak terhitung banyaknya. Ibuku
memberiku perhatian dengan caranya, mendidikku dengan caranya, dan menyayangiku
dengan caranya. Cara setiap ibu akan berbeda, tapi ingatlah ibu hanya ingin
kamu mengerti dibalik semua yang ia lakukan, hanya untuk kebaikanmu. Tidak akan
ada ibu yang waras yang akan mencelakakan anak kandungnya sendiri.